Batu Basurek, yang juga dikenal sebagai batu tulis, merupakan salah satu warisan sejarah paling berharga di Sumatera Barat.
Prasasti ini adalah bukti otentik keberadaan Kerajaan Pagaruyung di bawah pemerintahan Raja Adityawarman pada abad ke-14 Masehi.
Terletak di beberapa lokasi strategis di Tanah Datar, prasasti ini menjadi saksi bisu kejayaan masa lampau dan menyimpan informasi berharga tentang struktur pemerintahan, budaya, dan dinamika politik pada masanya.
Lokasi dan Penemuan Batu Basurek
Batu Basurek dapat ditemukan di beberapa lokasi penting di Sumatera Barat, khususnya di daerah Kubu Rajo Nagari Lima Kaum, Kecamatan Lima Kaum serta di daerah Koto Tangah Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjuang Ameh.
Keberadaan prasasti di berbagai lokasi ini menunjukkan luasnya pengaruh Kerajaan Pagaruyung pada masa kejayaannya.
Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh seorang pakar sejarah Belanda bernama P. H. Van Hengst pada tanggal 16 Desember 1880. Penemuan ini menjadi tonggak penting dalam studi sejarah Minangkabau dan Sumatera secara umum.
Setelah penemuan awal ini, beberapa ahli epigraf dan sejarawan dari berbagai negara datang untuk mempelajari dan menerjemahkan prasasti tersebut, termasuk ahli epigrafi terkenal seperti J.L.A. Brandes dan F.D.K. Bosch.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Tim Arkeologi Universitas Indonesia pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa masih ada beberapa fragmen Batu Basurek yang belum terdokumentasi dengan baik dan tersebar di berbagai lokasi di Sumatera Barat. Hal ini menunjukkan bahwa studi tentang prasasti ini masih berkembang hingga saat ini.
Karakteristik Fisik Batu Basurek
Salah satu Batu Basurek yang paling terkenal ditemukan di atas makam Raja Adityawarman. Prasasti ini memiliki dimensi yang cukup mengesankan, dengan lebar 25 cm, tinggi 80 cm, ketebalan 10 cm, dan berat sekitar 50 kg.
Material yang digunakan adalah batu andesit, jenis batuan vulkanik yang umum digunakan untuk prasasti di Nusantara karena ketahanannya terhadap erosi dan cuaca.
Dibandingkan dengan prasasti-prasasti lain dari era yang sama, seperti Prasasti Canggal dari Jawa Tengah atau Prasasti Kedukan Bukit dari Palembang, Batu Basurek memiliki ukuran yang lebih sederhana namun dengan kualitas pahat yang sangat halus.
Menurut penelitian terbaru oleh Dr. Bambang Budi Utomo (2024), ahli arkeologi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, teknik pemahatan pada Batu Basurek menunjukkan keterampilan tinggi yang setara dengan prasasti-prasasti dari Kerajaan Majapahit.
Tulisan dan Bahasa pada Batu Basurek
Skrip dan Bahasa
Prasasti Batu Basurek ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno dalam bahasa Sanskerta. Penggunaan bahasa Sanskerta pada prasasti ini menunjukkan adanya pengaruh kuat budaya India dalam tradisi kerajaan-kerajaan di Nusantara pada masa itu.
Menurut penelitian Prof. Dr. Titik Pudjiastuti (2022), gaya penulisan pada Batu Basurek menunjukkan karakteristik unik yang mencampurkan tradisi epigrafi Jawa dan Sumatra.
Isi dan Terjemahan
Isi prasasti ini sebagian besar bercerita tentang Raja Adityawarman sebagai penguasa “negeri emas” yang murah hati dan penuh belas kasih. Terjemahan salah satu bagian prasasti berbunyi: “Adityawarman maju perkasa, ia penguasa Kanakamedinindra atau Suwarnadwipa (Sumatera atau Tanah Emas). Ayahnya Adwayawarman. Dia keluarga Indra.”
Studi linguistik terbaru oleh Dr. Uli Kozok (2023) dari University of Hawaii mengungkapkan bahwa beberapa bagian prasasti juga memuat konsep-konsep filosofis tentang kekuasaan dan kebijaksanaan yang menunjukkan sintesis antara ajaran Hindu-Buddha dan nilai-nilai lokal Minangkabau.
Raja Adityawarman: Sosok di Balik Prasasti
Asal-usul dan Keluarga
Adityawarman lahir dari pernikahan Dara Jingga, putri raja Dharmasraya yang terletak di tepi Sungai Batanghari, Jambi, dengan Adwayawarman, seorang kerabat dari Keraton Singosari.
Latar belakang keluarganya yang memadukan darah kerajaan lokal Sumatera dan Jawa menjadikannya sosok yang ideal untuk menjembatani dua tradisi besar kepulauan Nusantara.
Menurut catatan sejarah yang dikompilasi oleh Prof. Gusti Asnan (2024), Adityawarman mendapatkan pendidikan di lingkungan istana Majapahit dan bahkan pernah diutus sebagai duta ke Tiongkok pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Perjalanan Politik
Kisah sejarah yang terkait dengan latar belakang Adityawarman sangat menarik. Pada tahun 1292, Kublai Khan dari Dinasti Yuan Tiongkok melakukan serangan terhadap Kerajaan Singosari.
Dalam konteks ini, Dara Jingga dan saudara perempuannya, Dara Petak, membawa pasukan untuk membantu Singosari. Namun, Singosari akhirnya jatuh dan dikuasai oleh Jayakatwang.
Tidak lama kemudian, Raden Wijaya berhasil mengalahkan Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya kemudian menikah dengan Dara Petak, sementara Dara Jingga menikah dengan Adwayawarman.
Setelah menikah, pasangan ini kembali ke Dharmasraya, dan di sinilah Adityawarman lahir.
Setelah dewasa, Adityawarman memulai kariernya di Kerajaan Majapahit dan berhasil menduduki posisi penting. Adityawarman berperan dalam beberapa misi diplomatik penting Majapahit sebelum akhirnya kembali ke tanah kelahirannya.
Pendirian Kerajaan Pagaruyung
Setelah melakukan berbagai jasa untuk Majapahit, akhirnya Adityawarman diangkat menjadi raja di Dharmasraya sekitar tahun 1343.
Salah satu keputusan strategisnya adalah memindahkan pusat kerajaan dari Siguntur (di wilayah Dharmasraya saat ini) ke Pagaruyung (di Tanah Datar sekarang).
Perpindahan pusat kerajaan ini kemungkinan dilakukan karena faktor keamanan dan strategis, mengingat wilayah Pagaruyung memiliki topografi yang lebih menguntungkan untuk pertahanan dan berada pada jalur perdagangan yang lebih ramai.
Kerajaan Pagaruyung dan Dharmasraya
Konteks Historis
Kerajaan Dharmasraya merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berkembang di Sumatera pada abad ke-11 hingga ke-14.
Ketika Adityawarman berkuasa dan memindahkan pusat kerajaan ke Pagaruyung, ia melakukan beberapa transformasi penting dalam struktur politik dan budaya kerajaan tersebut.
Kerajaan ini menjadi pusat penting bagi jalur perdagangan rempah dan emas di Sumatera. Lokasinya yang strategis memungkinkan kerajaan ini mengendalikan jalur perdagangan dari pedalaman Minangkabau menuju pesisir barat Sumatera.
Hubungan dengan Majapahit
Hubungan antara Pagaruyung dan Majapahit cukup kompleks. Di satu sisi, Adityawarman memiliki ikatan kuat dengan Majapahit melalui pendidikan dan karier awalnya. Di sisi lain, ia juga berusaha membangun identitas mandiri bagi kerajaannya.
Prasasti-prasasti Adityawarman menunjukkan upaya untuk melegitimasi kekuasaannya dengan menggabungkan unsur Jawa (Majapahit) dan elemen lokal Minangkabau. Hal ini tampak dari penggunaan gelar-gelar yang mencerminkan kedua tradisi tersebut.
Perdebatan Sejarah: Raja Minangkabau atau Raja Pagaruyung?
Salah satu perdebatan sejarah yang masih berlangsung hingga saat ini adalah apakah Adityawarman merupakan raja Minangkabau secara keseluruhan atau hanya raja Pagaruyung.
Argumentasi ini muncul karena pada masa yang sama, di wilayah Limo Kaum, Pariangan, dan bagian lain Tanah Datar, sistem kekuasaan dipegang oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Katamanggungan.
Dalam perspektif tradisional Minangkabau, Adityawarman dianggap sebagai “sumando” atau suami dari perempuan Minangkabau, bukan penguasa asli wilayah tersebut.
Di sisi lain, bukti arkeologis berupa prasasti-prasasti yang tersebar di berbagai lokasi menunjukkan bahwa pengaruh Adityawarman cukup luas.
Terdapat “dual governance” di Minangkabau pada masa itu, di mana Adityawarman memiliki otoritas politik formal sementara para datuk menjalankan sistem adat yang mengatur kehidupan sehari-hari.
Signifikansi Budaya dan Sejarah Batu Basurek
Nilai Arkeologis dan Historis
Batu Basurek memiliki nilai arkeologis yang sangat tinggi sebagai bukti material dari keberadaan Kerajaan Pagaruyung. Prasasti ini menjadi sumber primer untuk memahami dinamika politik, budaya, dan agama di Sumatera pada abad ke-14.
Batu Basurek menyediakan informasi berharga tentang jaringan politik dan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara pada masa itu.
Warisan Budaya Nasional
Pada tahun 2022, Batu Basurek secara resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Status ini memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat dan dukungan untuk upaya konservasi yang berkelanjutan.
Status ini juga membuka peluang untuk pendanaan dan kerjasama internasional dalam upaya pelestarian dan penelitian lebih lanjut tentang prasasti ini.
Pemikiran Akhir
Batu Basurek merupakan bukti otentik kejayaan Kerajaan Pagaruyung di bawah pemerintahan Raja Adityawarman pada abad ke-14.
Prasasti ini tidak hanya memberikan informasi berharga tentang sejarah politik Minangkabau, tetapi juga mencerminkan dinamika budaya dan agama pada masa itu.
Meskipun perdebatan tentang status Adityawarman sebagai raja Minangkabau atau hanya raja Pagaruyung masih berlanjut, hal ini justru menunjukkan kompleksitas sistem politik dan sosial Minangkabau pada masa lampau.
Perbedaan perspektif ini memberikan kesempatan untuk studi lebih lanjut dan pemahaman yang lebih komprehensif tentang sejarah Sumatera.