Momentum Sejarah: Mengurai Tapak Rapat Ikada 19 September 1945

/

Sejarah Indonesia

Zal Ambo

10 May 2025

Satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 19 September 1945, terjadi peristiwa monumental yang menjadi ujian awal kedaulatan Republik Indonesia yang masih berusia sebulan. Sebuah demonstrasi massal terorganisir di Lapangan Ikada—sekarang dikenal sebagai Lapangan Merdeka—Jakarta, bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan strategi terencana untuk memperlihatkan kekuatan rakyat Indonesia menghadapi ancaman kolonialisme yang berpotensi kembali.

Kisah ini bermula di sebuah hunian sederhana di Bogor milik seorang penjahit bernama Pak Karim. Di tempat inilah bersembunyi sosok legendaris pergerakan nasional—Tan Malaka—yang selama lebih dari dua dekade menghilang dari peredaran akibat menjadi buronan intelijen kolonial.

Ideologi dan Visi Perjuangan

Pertemuan rahasia pertama antara Tan Malaka dengan Ahmad Soebardjo di Jakarta dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Situasi politik masih sangat cair, sulit membedakan kawan dan lawan dalam atmosfer yang terus berubah setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.

Di rumah sederhana Bogor, Tan Malaka menyampaikan pandangannya tentang kemerdekaan Indonesia kepada kalangan pemuda: “Kemerdekaan sejati berarti pembebasan total, kesejahteraan masyarakat, dan pemutusan seluruh ikatan dengan kepentingan asing yang telah memperbudak bangsa kita.”

Dengan analisis tajam, ia memprediksikan: “Perang besar akan diikuti konflik-konflik kecil. Berbagai bangsa akan menuntut kemerdekaannya. Negara-negara kolonial meskipun telah menandatangani Piagam Atlantik, tidak akan dengan mudah melepaskan wilayah jajahannya.”

Tan Malaka kemudian membeberkan strategi perlawanan: “Belanda harus dilawan terus-menerus, jangan biarkan mereka mengeksploitasi hasil perkebunan yang masih mereka kuasai. Persenjataan kita mungkin kalah, tetapi jumlah kita jauh lebih banyak. Semakin luas wilayah yang kita kuasai, Belanda akan kesulitan melawan.”

Polarisasi Gerakan Pemuda

Dalam perpolitikan Indonesia saat itu, terdapat dua kubu pemuda dengan pendekatan berbeda:

Kelompok Prapatan 10 di bawah pimpinan Erie Soedewo lebih moderat dalam sikapnya. Mereka adalah kalangan terpelajar dan mahasiswa elit yang memiliki akses langsung ke Sukarno-Hatta. Pendekatan mereka lebih diplomatis, mengedepankan perundingan.

Kelompok Menteng 31 terdiri dari pemuda autodidak yang tumbuh dari pergolakan rakyat. Sikap mereka jauh lebih radikal, menginginkan perjuangan bersenjata untuk mencapai Indonesia merdeka yang berdaulat penuh tanpa intervensi asing. Mereka membentuk Komite Van Actie beranggotakan 11 orang, termasuk Maruto Nitimihardjo (sesepuh kelompok), Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Sayuti Melik, Wikana, dan Chaerul Saleh. DN Aidit juga terlibat dalam lingkaran kedua kelompok ini.

Verifikasi Identitas Sang Tokoh Pergerakan

Kemunculan Tan Malaka setelah bersembunyi selama puluhan tahun menimbulkan kecurigaan. Maruto Nitimihardjo, dengan sikap waspada, mempertanyakan: “Benarkah dia Tan Malaka asli? Jangan sampai kita tertipu oleh Tan Malaka palsu yang akan menggiring kita ke arah yang salah.”

Untuk memastikan identitasnya, mereka menghadirkan beberapa orang Minang dari Pasar Senen yang mengklaim mengenal Tan Malaka semasa di Bukittinggi. Selain itu, disiapkan serangkaian pertanyaan mendalam tentang buku “Massa Actie”—karya monumental Tan Malaka.

Saat pertemuan berlangsung, semua peserta terpukau dengan sosok yang saat itu menggunakan nama samaran Iljas Hussein. Ketika ditanya tentang kesiapan menghadapi Jepang, jawabannya tegas: “Bukan hanya siap, tapi wajib! Jepang harus dilawan, begitu pula dengan Belanda, Inggris, atau pasukan asing manapun.”

Yang meyakinkan semua orang adalah kesaksian fisik dari seorang saksi mata: “Hanya satu orang di dunia ini yang memiliki daun telinga sebesar Tan Malaka yang pernah saya lihat.” Detail anatomis ini menjadi konfirmasi identitas otentiknya.

Perencanaan Demonstrasi Akbar

Situasi semakin tegang ketika pada 15 September 1945, pasukan Sekutu menerjunkan beberapa marinir Inggris dan mendaratkan lima kapal perang di pelabuhan Tanjung Priok. Merespons kedatangan ini, Jenderal Nagano mengeluarkan larangan resmi terhadap pertemuan-pertemuan massa yang dapat memancing kemarahan Sekutu.

Sukarni dari kelompok Menteng 31 langsung merobek surat edaran tersebut sambil menggebrak meja: “Benar kata Tan Malaka, kita harus memobilisasi massa rakyat!”

Malam harinya, Tan Malaka (masih dengan nama samaran Iljas Hussein) berpidato di bioskop Maxim di kawasan Cikini: “Kita harus membangun kekuatan sendiri untuk berjuang, berani mengangkat kepala demi kehormatan Indonesia. Kemerdekaan harus diraih dengan tangan kita sendiri.”

Setelah pertemuan ini, Gatot Tarunomihardjo mengunjungi Prapatan 10 membawa 35.000 rupiah—sumbangan dari Tan Malaka untuk membentuk pasukan pejuang. Inilah yang kemudian menjadi modal awal pembentukan kekuatan bersenjata Republik Indonesia.

Dilematis Kabinet: Mengambil Keputusan Sulit

Pada 17 September, Sukarno mengumpulkan seluruh anggota kabinet. Di mejanya terdapat dua dokumen: rencana demonstrasi akbar yang diajukan para pemuda dan surat edaran Jenderal Nagano yang melarang demonstrasi.

Rapat kabinet berlangsung alot hingga pukul 5 pagi tanpa menghasilkan keputusan final. Keesokan harinya ketika bertemu wartawan, Ahmad Soebardjo menyampaikan pembatalan demonstrasi di Koningsplein (Lapangan Ikada) dan menolak surat Jenderal Nagano. Para wartawan yang baru saja merebut kantor-kantor berita dari tangan Jepang bereaksi keras dengan pertanyaan-pertanyaan menusuk.

Sementara itu di lapangan, Sukarni dan rekan-rekannya telah menggerakkan jaringan kepala desa, tokoh lokal, dan kyai untuk mengumpulkan massa. Hasilnya luar biasa—ratusan ribu orang berdatangan.

Atmosfer Lapangan Ikada: Kesadaran Kolektif

Pagi 19 September 1945, masyarakat berbondong-bondong menuju Lapangan Ikada dengan bendera merah putih kecil di tangan. Keluarga-keluarga datang dengan menggendong anak-anak mereka. “Seperti lebaran… lebaran besar kita,” ujar seorang penduduk dengan senyum lebar sambil mengenakan jasnya yang kebesaran.

Beberapa warga bahkan berani mengolok-olok tentara Jepang. Ada anak kecil yang dilaporkan dengan berani memperlihatkan bagian belakang tubuhnya pada prajurit Jepang. Yang lainnya berseru penuh semangat: “Merdeka… merdeka… kami ingin melihat Sukarno!”

Pukul 10 pagi, rombongan besar dari Karawang dan Bekasi tiba dengan gerobak. Penduduk dari Kebon Sirih hingga Cikini telah berkumpul. Orang-orang dari Tanjung Priok membawa bambu runcing, beberapa orang Bugis membawa badik, dan orang Jawa membawa keris. Puluhan ribu rakyat bernyanyi di bawah terik matahari, menanti kedatangan Sukarno.

Kebuntuan di Gedung KNIP: Pertaruhan Eksistensial

Sementara massa menunggu, Sukarno tampak geram di gedung KNIP setelah mendapat laporan banyak anak-anak hadir di lapangan. Para menteri berdebat apakah pemimpin Republik harus menampakkan diri di hadapan publik dengan risiko serangan Jepang dan keselamatan puluhan ribu rakyat yang dipertaruhkan.

Rapat berlangsung tegang dari pukul 9 pagi hingga 4 sore. Para menteri tidak sempat makan siang karena atmosfer yang mencekam. Beberapa kali mereka tersentak cemas ketika mendengar deru pesawat, khawatir itu pesawat Sekutu.

Sukarni yang mengoordinasikan kegiatan di lapangan beberapa kali mengetuk pintu untuk menanyakan keputusan. Setelah dua jam menunggu dan menerima jawaban “belum”, ia menutup pintu dengan dentuman keras—BRAK!—membuat seluruh menteri terlonjak. Menteri Penerangan Sukardjo Wirjopranoto berkomentar sinis: “Sepertinya Sukarni berniat membunuh kita semua.”

Akhirnya pada pukul 3 sore, Sukarno berdiri tegak dan berkata: “Karena kebanyakan menteri tampaknya ketakutan, saya yang akan mempertaruhkan nyawa. Biarlah saya yang ditembak Jepang, mati di hadapan rakyat saya. Ini adalah taruhan demi masa depan Indonesia.”

Klimaks Historis: Hadirnya Pemimpin di Hadapan Rakyat

Rombongan Sukarno akhirnya tiba di Lapangan Ikada, namun dihadang oleh Kolonel Miyamoto. Sukarno murka dengan penghalangan ini, sementara Hatta terus berdebat dengan perwira Jepang tersebut.

Tiba-tiba dari arah belakang, Tan Malaka berteriak lantang dalam bahasa Minang: “Hai, Hatta! Perdebatanmu ini bertele-tele, hentikan segera, rakyat sudah gelisah!”

Akhirnya setelah seorang pemuda Indonesia bersenjata mendorong perwira Jepang tersebut, Sukarno melangkah menuju podium dan menyampaikan orasi singkat:”

Saudara-saudaraku, saya menyadari bahwa kalian berkumpul di sini untuk melihat Presiden kalian dan mendengarkan arahannya. Jika kalian masih mempercayai saya, dengarkanlah perintah pertama saya: bubarlah dengan tertib, pulanglah ke rumah masing-masing, dan tunggulah instruksi dari pemimpin-pemimpin di wilayah kalian masing-masing.”

Seketika itu puluhan ribu orang membubarkan diri dengan tertib—pemandangan yang membuat pengamat dan intelijen asing takjub.

Dampak dan Signifikansi Demonstrasi Ikada

Van Der Post, agen intelijen Inggris yang mengirim bawahannya untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut, melaporkan: “Ada seorang Ambon pro-Belanda berdiri di tengah kerumunan… Saat Sukarno tiba, jantungnya berdebar kencang hingga hampir pingsan… Orang Ambon tersebut pulang bersama massa lainnya, dan kemudian melaporkan bahwa ‘peristiwa itu merupakan pengalaman paling mengagumkan dalam hidupnya’.”

Demonstrasi Ikada merupakan peleburan emosional dan ikatan batin yang membentuk kesatuan bangsa. Di sanalah bertemunya berbagai kepentingan: Tan Malaka yang menguji kekuatan Sukarno dan efektivitas pemuda, Sukarno yang berani mempertaruhkan nyawa demi pemerintahan yang dipimpinnya, keberanian pemuda mengambil sikap tegas, serta mata-mata asing yang mengamati perkembangan pemerintahan baru Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer, saksi mata peristiwa tersebut, menggambarkan keharuannya dalam surat dari Pulau Buru:

“Jika tak ada yang bercerita padamu tentang Revolusi Indonesia, biar aku yang menuturkannya untukmu… Saat Proklamasi diucapkan, tak seorang pun menduga di Indonesia akan meletus revolusi yang merambah daratan dan lautan.”

Pram juga mengisahkan bagaimana ia menyaksikan langsung keberanian rakyat menghadapi tentara Jepang:

“Untuk pertama kalinya aku menyaksikan bagaimana rakyat Indonesia sama sekali tidak lagi gentar pada Dai Nippon dengan militernya yang terkenal akan kekejaman dan kebrutalan.”

Gejolak revolusioner tengah menguat, dan demonstrasi Ikada menjadi salah satu katalisator penting dalam lintasan revolusi kemerdekaan Indonesia. Melalui peristiwa bersejarah ini, tersimpan pelajaran tentang keberanian, persatuan, dan kepemimpinan yang menjadi fondasi kokoh bagi perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya.

Mari berdiskusi